
17 Agustus 2011, tepat 66 tahun negeri ini merdeka. Perjalanan waktu yang lama, dewasa dan tua/mati bagi ukuran usia orang Indonesia.
Sepanjang kurun waktu itu, lima putra dan satu putri terbaik Indonesia, bergantian memimpin negeri. Bangsa Indonesia yang mendiami negeri kepulauan seluas 1.919.440 kilometer per segi, menjadi negara terluas nomor 15 di dunia.
Dari sekitar 6,5 miliar penduduk dunia, negeri kita tercatat sebagai negara berpenduduk besar nomor empat, di bawah RRC, India dan AS. Namun, harta kekayaan alam yang dianugerahkan Tuhan, RI relatif paling kaya.
Belantara Indonesia menyimpan aneka kayu komoditas internasional. Perut bumi, sarat butiran emas, Migas hingga uranium. Laut, tak terhitung jenis ikan yang membawa kemakmuran. Di atas tanah, iklim tropis menjadikan Nusantara paling subur di dunia.
Biji apapun tumbuh mudah. Mengapa masih teramat banyak warga Indonesia hidup susah? Jangankan mengenyam sarjana strata satu, saudara-saudara kita yang hidup di pelosok dan pedalaman, SD pun terlalu tinggi diraih.
Bisa dibayangkan bagaimana tak berdayanya bangsa kita dalam persaingan hidup di Abad Global ini. Derajat pendidikan menjadi indikator vital mewujudkan kemakmuran seseorang, keluarga, daerah dan bangsa.
Sangat tak sebanding, berbisnis, berpolitik atau perang sekalipun, melawan bangsa lain yang purna pendidikan tinggi. Risiko yang tak terhindarkan, bangsa kita tetap jadi pecundang hampir di semua dimensi.
Rendahnya kualitas sumber daya manusia, telah memenjarakan negeri ini dari dominasi ekonomi, politik hingga sosial budaya asing. Apa yang tak tergantung negara lain? Memilih presiden saja, sulit menghindari pengaruh Barat atau negeri lain.
Isyarat Ramadan
Di sekitar kita, aneka produk yang lazimnya bisa kita ciptakan, justru didominasi produk Barat, China maupun Jepang. Bahkan makanan dan minuman ringan di Kalbar saja, tumpah-ruah produk Malaysia. Unik dan bin ajaib bagi negeri yang dihadirkan Allah dengan harta melimpah.
Yang nomor satu negara kita, bermain badut politik, rekayasa, fitnah dan saling bunuh di antara anak bangsa. Selama 10 tahun terakhir, republik ini justru termarak permainan badut politik dan pesta korupsi. Hampir tak ada yang tersisa dari pilar negara.
Eksekutif, lebih separo kepala daerah di Tanah Air terjerat korupsi. Belum termasuk kaum pejabat Bank Indonesia, BUMN dan Kementerian. Pilar legislatif, apalagi. Publik telah menyaksikan, termasuk dugaan aneka korupsi sekitar Rp 6 triliun kader Demokrat, M Nazaruddin.
Yudikatif sebagai pilar ketiga tak jauh beda. Mulai jaksa, hakim hingga polisi, bak lomba masuk penjara. Pers yang menjadi pilar keempat dalam negara, cenderung hidup segan mati pun enggan. Akan ke mana negeri yang diproklamirkan dengan nyawa dan darah tak terhitung ini?
Momentum peringatan RI pada Bulan Suci Ramadan 1432 Hijriyah, mungkin pula isyarat Tuhan. Bangsa kita wajib kembali ke jalan lurus yang haq. Memurnikan diri sebagai fitrah ciptaan Tuhan berderajat tinggi. Berakhlak, cinta sesama dan semesta alam sebagai karunia Allah.
Sia-sia dan merugi besar di akhir zaman, apabila kaum politikus, negarawan dan penegak hukum, bergeming memainkan episode badut hanya demi rupiah dan tahta. Tak ada yang bisa dibanggakan dari kekuasaan pura-pura.
Tak perlu menganggap pemimpin super-baik dan bijak melalui pencitraan diri. Cukup amalkan amanah rakyat sepenuh hati, dan seoptimal kekuatan yang ada. Tuhan Maha Adil dan Bijaksana, tak pernah tidur.
Indonesia saatnya bangkit lahir batin dari "nina boboh" termasuk hari kebangkitan Korupsi
AYO BANGKIT - KORUPSI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar